Selasa, 26 Mei 2009

Industri Kehutanan Semakin Tersudut

Alih Fungsi Sudah 10 Juta Hektar

JAKARTA, KOMPAS — Permintaan alih fungsi kawasan hutan yang meningkat belakangan ini semakin menyudutkan dunia usaha. Para pengusaha kehutanan mengeluhkan semakin sulit berusaha karena izin konsesi belum menjamin kepastian lahan. Pemerintah harus menuntaskan hal ini

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Soegiono, seusai rapat tahunan APHI di Hotel Santika, Jakarta. Kamis (14/5), mengungkapkan, kepastian status konsensi hutan merupakan kendala utama dunia usaha. Hampir Sebagian besar industri kehutanan kolaps karena sengketa kawasan.

"Industri yang sudah berjalan pun ada yang terpaksa berhenti karena masalah ini. Kami berharap pemerintah pusat dan daerah satu suara dalam menyesaikan masalah ini agar investasi untuk menciptakan tenaga kerja tidak terganggu,” katanya.

Dalam rapat itu, ikut hadir para pengurus APHI, di antaranya Nana Suparna, Transtoto handadhari, David dan Riza Suarga. Dari 400 anggota APHI, Saat ini hanya tersisa sedikitnya 250 perusahaan yang masih aktif berusaha dengan berbagai tantangan.

Indoneisa memiliki hutan seluas 132 Juta hektar. Sebanyak 22,3 Hektar di antaranya di cadangkan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan.

Menurut Soegiono, Undang-undan Nomor 27 tahun 2008 tantang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No 26/2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Nasional tidak mempertimbangkan kesinambungan investasi hutan lestari.

Pemerintah daerah (pemda) semakin banyak mengalihkan fungsi hutan tanpa mengindahakan izin konsesi dari Dephut untuk industri kehutanan.

Pengusaha hutan, terutama hutan tanaman industri (HTI), semakin merana saat sengketa areal terjadi di kawasan yang sudah di tanami.

Penataan ruang semestinya tidak diurus oleh Departemen Pekerjaan Umum saja. Harus sinergi sehingga semua pihak yang berkepentingan dengan lahan bisa memberi masukan," ujarnya.

Nana Suparna menambahkan, Kementerian Negara Bappenas harus menjadi koordinator pembahasan rencana tata ruang wilayah nasional. Hanya lewat Bappenas, pembahasan tata ruang bisa melibatkan semua instansi sekaligus pemerintah daerah." ujar Nalla.

Usulan pemda

Pemda pun kini gencar mengusulkan pengalihan hak kawasan hutan untuk kepantingan selain kehutanan. Misalnya Kalimantan Timur mengajukan 2 juta Hektar, Kalimantan Tengah 1.9 juta ha dan Sumatera Utara 1,4 Juta ha. Secara terpisah, kepala Pusat Informasi Dephut Masyhud mengakui, banyak daerah yang mengusulkan pengalihan hak kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan.

Untuk kawasan hutan yang bersifat strategis karena terdapat hutan lindung atau konservasi di dalamnya, proses pengalihan fungsi hutan harus melalui izin DPR. Saat ini ada delapan provinsi yang menunggu izin DPR untuk pengalihan fungsi hutan, yakni Kaltim, Kalbar, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu dan Jambi.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia elfian Effendi mengungkapkan, tren pengalihan fungsi hutan kini semakin meningkat. Sedikitnya 10 juta ha hutan lindung dan konservasi di alihkan fungsi secara ilegal sampai tahun 2007.

Sebagian besar pengalihan fungsi kawasan hutan tersebut bertujuan untuk investasi perkebunan kelapa sawit.

Kompas, Jumat 15 Mei 2009 Hal 18

Sabtu, 25 April 2009

BUBARKAN INSTITUSI KEHUTANAN ?

Saya terkejut setelah membawa artikel di sebuah blog (terlampir) :

BUBARKAN INSTITUSI KEHUTANAN.....................

Pembubaran Departemen Kehutanan bukanlah sekedar dikarenakan ini adalah masalah managemen ataupun sekedar masalah orang. Dan bagaimana keterkaitan dengan Fakultas Kehutanan, mari melihat ulang bagaimana wacana yang berkembang dalam diskusi Muktamar PERSAKI tahun lalu. Stereotype yang ada adalah bahwa Hutan hancur karena Sarjana Kehutanan terlalu banyak. Padahal Departemen Kehutanan lah yang secara legal melakukan pengelolaan 143 juta hektar daratan indonesia.

Bila melihat pada UU No 41/1999 jo UU No 19/2004, maka terlihat jelas bahwa konteks pembangunan kehutanan adalah pada pengelolaan hutan, dimana di dalamnya termasuk perencanaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengawasan. Dalam porsi kebijakan yang dihasilkan, sebagian besar kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan hanya berpijak pada wilayah pemanfaatan, khususnya lagi pada pemanfaatan kayu. Porsi bagi perlindungan hutan kemudian dilepaskan dari kewenangan Dephut dengan memindahkan tanggungjawab kepada masyarakat, yang kemudian selama ini diambil oleh Lembaga konservasi ataupun lembaga “conserfashion”.

Dalam perjalanannya juga, Departemen Kehutanan selalu bertarung dengan kepentingan Departemen lainnya, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, terkait dengan kawasan administrasi desa, Departemen ESDM, terkait dengan pertambangan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, terkait dengan pembangunan jalan dan transmigrasi, juga Departemen Pertanian, terkait dengan perkebunan skala besar.

Memang tak mudah menerima sebuah gagasan yang menggangu kestabilan sebuah materi. Akan banyak pro-kontra didalamnya. Saya mengajak untuk melihat pada konstitusi yang hingga saat ini masih diakui di negeri ini. UUD 45 telah mengamanatkan sebuah bangunan model ekonomi-politik dalam pengelolaan negeri ini. Bagaimana kemudian agar posisi pemerintah sebagai pelayan rakyat, posisi rakyat secara kolektif sebagai pemilik sah atas agraria dalam kewilayahan NKRI. Hutan, tanah dan air merupakan sebuah ruang yang sejak lama membangun sistem budaya bangsa ini.

Sepanjang fase gerak modal (asing) yang masuk di Indonesia, telah menjadikan kawasan berkehidupan dan berbudaya ini menjadi terkapling-kapling dalam satuan yang kemudian dengan murahnya diserahkan pada ‘penjajah’. Padahal sudah jelas, para penggagas kemerdekaan bangsa ini mengamanatkan terjadinya sebuah kemerdekaan atas ruang kehidupan secara utuh, tidak hanya secara politik, tapi juga secara ekonomi. Tidak akan pernah sebuah mimpi kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang dituliskan dalam Pembukaan UUD 45 dapat terwujud, bilamana kemudian hanya mengakui demokrasi politik, tanpa mengakui demokrasi ekonomi.

Prasyarat demokrasi ekonomi utamanya adalah hak akses dan kontrol rakyat terhadap kekayaan alam yang ada di ruang kehidupan kolektifnya. Sistem ekonomi dibangun atas sebuah kekuatan ekonomi kolektif, dimana bangunan ekonomi utamanya adalah pemerataan, bukan pertumbuhan.Mungkin sudah terlalu lama sistem kelola hutan Indonesia berada dalam sistem kolonialisme ekonomi, dimana hak akses dan kontrol oleh rakyat telah ditiadakan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ini yang diinginkan oleh kolektif bangsa ini? termasuk dengan tetap menjadikan kayu, sebagai komoditas satu-satunya yang utama dari kawasan hutan? walau kemudian, pasti akan ada yang menyatakan bahwa hasil hutan non kayu juga sudah terlayani oleh Dephut, namun fakta menunjukkan bahwa Dephut hanya menjadi sebuah dinding tebal yang menghalangi sistem kelola rakyat dalam memanfaatkan hasil hutan non kayu.

Mulailah dengan melihat ulang sistem sosial dari pohon yang menjadi salah satu komponen penyusun hutan. Interaksi antara akar, batang, ranting dan dedaunan, yang keseluruhnya merupakan satu sistem sosial. Dan kemudian bagaimana pohon berinteraksi dengan tetumbuhan dan satwa serta komponen biologi-nonbiologi lainnya. termasuk terhadap bagaimana sistem kehidupan sosial manusia di dalamnya. Interaksi sosial tersebut sudah sangat jauh dari cara pandang pegiat kayu, yang kemudian hanya melihat hutan sebagai sebuah komoditas tunggal kayu, yang dilahirkan untuk memenuhi hasrat biologis segelintir makhluk bernama manusia.

Sistem pendidikan, khususnya pendidikan kehutanan, telah pula terselaputi cara pandang ekonomi uang, yang melepaskan sistem sosial dari ilmu yang sedang dipelajarinya. Apalagi untuk melihat sejarah pengembangan ilmu kehutanan itu sendiri. Yang kemudian menunjukkan bahwa cara pandang sektoral telah mematikan sistem kehidupan diri kita sendiri. Inilah yang kemudian mendasari mengapa penting sebuah ruang yang lebih komprehensif untuk menaungi sebuah sistem ekonomi yang berjalan di dalamnya.

Berikutnya, menjadi penting untuk merombak tata kelembagaan pemerintah, dengan menempatkan kehutanan dan sektor berbasis kekayaan alam lainnya, dibawah sebuah institusi yang mampu melihat lebih lengkap terhadap sistem penyangga kehidupan manusia. Tanah, air, hutan, kehidupan.

Sumber : http://timpakul.hijaubiru.org/bubarkan_institusi_kehutanan.html


Bisa Mungkin Bisa tidak menurut saya......
Menurut teman-teman bagaimana  ? silahkan mengisi komentar di bawah ini..........